Senin, 16 November 2009

Membangun Kesadaran Diri

Manusia sebagai mahluk berkesadaran, pasalnya memiliki potensi mengetahui yang tidak terbatas. Hal ini bisa kita saksikan pada diri manusia yang selalu bertanya dan mencari sesuatu dalam aktifitas intelektualnya. Reaksi "tanya" yang muncul dalam diri manusia cukup mengindikasikan bahwa manusia memiliki naluri dan potensi yang luar biasa.

Dengan demikian, manusia dikatakan sebagai hewan yang berfikir (al-hayawanu-natiq), sebuah definisi Aritoteles yang dialamatkan pada manusia, dengan kata lain Aristoteles hendak mengatakan bahwa identitas manusia adalah potensi akal yang ada pada dirinya dan secara jelas akallah yang membedakan manusia dengan mahluk lain.

Potensi yang sedemikian besar tersebut haruslah diletakkan sebagai instrument untuk menelaah fenomena yang dihadapi manusia sehari-hari. Manusia sebagaimana kita tahu menghadapi persoalan kehidupan yang dan kompleks, kita juga menyadari bahwa problem yang dihadapi manusia maderen saat ini telah menghempaskan manusia pada sebuah ruang sempit kesadaran yang meletakkan manusia sebagai agen tidak berbeda dengan objek material yang seenaknya di eksploitasi.

Fonomena-fenomena diatas menurut hemat penulis karena cara pandang kita saat ini telah keluar dari batas-batas eksistensial, dimana potensi kritis manusia dikebiri dengan hukum-hukum positif-material sehingga manusia selalu berada pada situasi menerima dan pasif tanpa membuka ruang kritis terhadap fenomena sekitar.
Kesadaran "diri" Modus Utama Pengenalan "Tuhan".
Berbeda dengan model pengetahuan yang meletakkan kesadaran pada objek yang berada diluar dirinya, kesadaran diri adalah kesadaran sederhana yang langsung menghadir pada diri subjek tanpa membuhtuhkan konsep mental yang kompleks. Yakni model pengetahuan yang menegaskan bahwa antara subjek dan objek adalah piranti yang tidak bisa dipisahkan secara independent.
Kesadaran "diri" yang dimaksud adalah "ego" yang terlibat secara langsung dalam prosesi mengetahui secara bersama-sama tanpa ada jeda waktu sedikitpun. Hal ini bisa kita rasakan secara langsung misalnya, kesadaran kita tentang aktivitas persepsi yang berlangsung pada diri kita saat mempersepsi sesuatu. Misalnya "saya merasa bahagia", pada proposisi diatas "saya" sebagai subjek dan "bahagia" sebagai objek pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, pengetahuan yang sifatnya menghadir (huduri) tersebut tidak ada dikotomi antara pelaku persepsi dan objek yang dipersepsi.

Pembahasan mengenai pengetahuan berimplikasi pada diskursus epistemology pengetahuan diri dalam perdebatan epistemologi telah melahirkan banyak model pengetahuan. Munculnya kaum peragu (sofisme) adalah satu dari sekian problem filosofis yang telah gagal membentuk dasar-dasar pengetahuan. Para sofis mengklaim bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia yang berrtumpu pada idera dan akal adalah pengetahuan yang tidak memiliki nilai kebenaran. Salah satu tokoh yang masyhur kita kenal adalah Gorgias. Beliau mengatakan " tidak ada yang mewujud, kalaupun ada yang mewujud maka tidak bisa dibuktikan, kalaupun bisa dibuktikan pengetahuan tidak bisa dikomunikasikan". Pernyataan ditas secara epistemologi memiliki banyak kerancuan. Namun bukan tempatnya disini menakar landasar epistem para sofis.

Kembali pada pengetahuan diri, Mahatma Gandhi menulis;

Ada realitas tunggal diseluruh dunia ini, yaitu pengetahuan tentang diri. "siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Siapa yang tidak punya pengetahuan semacam itu, ia tidak mempunyai pengetahuan apa pun. Di dunia ini hanya ada satu kekuatan, suatu jenis kemerdekaan, suatu bentuk keadilan, yaitu kuasa untuk mengendalikan diri. Siapa yang mampu mengusai dirinya akan mampu mengusai dunia. Hanya ada satu bentuk kebaikan didunia, yaitu mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri; dengan kata lain, menghargai orang lain sebagaimana menghargai diri kita sendiri. Diluar itu yang ada hanyalah ilusi dan kehampaan semata".
Walhasil, pengetahuan diri sangat dekat dengan pengenalan keberadaan Tuhan. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Mengenal Epistemologi mengutip sebuah ayat terkait dengan bersatunya pengetahuan diri dengan pengetahuan Tuhan. Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebutan "dzar" (alam Zdar atau alam mitsal; semacam alam ide-nya Plato). Terdapat suatu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri sendiri.
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (QS: al-A?raf:172). Dalam ayat ini Allah menunjukan manusia kepada dirinya sendiri, mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Dalam artian bahwa Al-Qur'an mengatakan bahwa lihatlah diri kalian, Allah mengambil kesaksian pada diri mereka. Tatkalah manusia telah melihat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman; bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab ?Ya!? Disini Al-Qur?an tidak mengatakan bahwa Allah menunjukan Zat Nya kepada manusia, tetapi Al-Qur?an mengatakan bahwa manusia yang telah di berikan potensi kecerdasan itu diperlihatkan kepada diri mereka sendiri.

Alhasil Tuhan begitu dekat dengan manusia mengenal diri dengan mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu, sehingga Dia memerintahkan "Wahai manusia lihatlah dirimu sendiri dan ketika mereka melihat diri mereka sendiri lalu Allah berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu" Ketika engkau melihat dirimu sendiri engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan "barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhanya" adalah ungkapan yang tidak asing lagi di telinga kita.

Secara filosofis, pengetahuan diri bersifat immaterial, pengetahuan postur tubuh, warna kulit, dimana kita lahir, siapa bapak dan ibu kita, berasal dari kelurga mana, dan semacamnya bukanlah pengetahuan tentang diri sejati. Di akhir tulisan ini penulis sengaja meminjam ungkapan imam Ali, beliau mengatakan;

Saya heran mengapa orang yang kehilangan sesuatu akan berusaha mencarinya, sementara yang kehialangan dirinya tidak?.

Pada ahirnya kita semua bermohon pada Allah agar memberikan kita cahaya dalam menjalani kehidupan ini dan mampu mengaktualkan cinta pada-Nya, dan menjauhkan kita dari cinta dunia.

Penulis M. Said Marsaoly (Wasekum Pengembangan Kajian, HMI Badko Jateng-DIY)

Minggu, 15 November 2009

Dimanakah kebersamaan itu kini

Kompleknya permasalahan membuat manusia untuk memperhitungkan segala sepak terjangnya, termasuk petimbangan itu adalah tergabung dengan beberapa komunitas yang memungkinkan untuk terpenuhinya kebutuhannya. Didalamnya orang akan menuntut terpenuhinya kebutuhan itu. Menuntut terkadang tak diiringi kewajibannnya untuk memberi yang terbaik untuk komunitasnya.
Kecenderungan manusia memang selalu menghindari segala sesuatu yang menyulitkan dirinya. Itulah sebannya mengapa orang enggan untuk memberi karena dirasanya mamberi akan menyulitkan dirinya di kemudian hari. Tapi benarkan itu? Benarkah bila kita member lantas kebahagiaan kita berkurang? Benarkah kita harus menghitung pemberian kita untuk menerima jumlah yang sama dengan apa yang kita beri?
Ternyata kita hanya wajib memberi dan tak ada kewajiban untuk menerima. Barangkali itulah konsep keikhlasan sebenarnya. Memberi tanpa ada keinginan untuk menerima balasan. Jika ada balasan pemberian itu hanya efek dari keihlasan kita dan itu akan lebih baik dari apa yang telah kita berikan.
Kebersamaan akan terbangun jika kita punya pemikiran yang sama bahwa kita hanya punya kewajiban memberi dan tak wajib untuk menerima. Namun akan kokoh bila kebersamaan itu diiringi pula dengan rasa percaya, empati dan simpati kepada orang orang sekelilling kita, orang yang menemani kita.
Masih ada kah orang orang seperti itu????

Senin, 09 November 2009

Diakah yang ku cari.....?!

Layaknya para pencari yang berada di antara kaktus berduri
Aku pun berhambur ke sana kemari demi menemukan yang kucari
Ribuan tanya memenuhi ruang yang ada di otakku
Hingga tiada lagi kutemukan kekosongan
Walau tuk sekedar menenangkan diri

Dan aku pun menemukan dirimu
Kala kuterhanyut dalam duniaku
Kutemukan sosok itu di tengah keramaian
Yang melihatku dan menyapaku dengan senyuman
Sempat kubertanya siapakah itu
Di mana hanya dengan senyumannya mampu luluhkan aku
Dengan kerlipan matanya mampu runtuhkan kokohnya dinding hatiku
Siapakah dia?





Seorang wanita yang begitu lembut sapanya
Seorang Hawa yang tercipta tuk temani Adamnya
Seorang Bidadari yang kutemui di dunia
Tapi, benarkah itu dia?
Sosok yang kucari sampai aku terlihat layaknya majnun mencari layla

Aku pun mencoba tuk meraih tangannya
Kudekati ia dengan sebuah rasa yang kubangun tanpa suara
Kurasa hanya dengan meraba
Sempat kulihat dia dengan mata
Namun, yang ada hanyalah samar belaka
Dan kulihat lagi ia dengan seberkas hati yang telah kusimpan rapi
Sebentuk hati yang kupersiapkan jika aku bertemu bidadari nanti

Kusentuh dia tapi tak tersentuh
Kudekati dia tapi tak terdekati

Hingga akhirnya sosok itu pun harus terbang melayang hanya melaluiku
Walaupun aku sangat ingin mempertanyakan arti kehadirannya itu
Mengapa ia datang jika ia harus pergi
Sebuah ketidakadilan jika begitu

Namun, tangan Tuhan menyambutku
Memperlihatkan dan mengingatkan aku akan keperkasaanNya
Semua adalah milikNya
Lalu, seberapa kuatnya aku hingga marah saat ia tak jadi milikku
Yang jelas-jelas bukanlah aku yang menciptakannya

Aku adalah hamba
Hamba yang diberi sebuah anugrah tuk merasa
Seorang manusia yang mencoba menemukan arti sebuah fenomena
Seorang hamba yang harusnya mensyukuri masih diberi cinta
Masih diberi nikmat yang tak percuma

Mungkin kata Tuhan ”Belum waktunya”
Dan aku pun menunggu jika waktu itu telah tiba
Karena telah kupersiapkan segala
Agar kubisa benar-benar menjaganya
Dengan sepenuh hatiku
Dengan sepenuh jiwaku