Senin, 16 November 2009

Membangun Kesadaran Diri

Manusia sebagai mahluk berkesadaran, pasalnya memiliki potensi mengetahui yang tidak terbatas. Hal ini bisa kita saksikan pada diri manusia yang selalu bertanya dan mencari sesuatu dalam aktifitas intelektualnya. Reaksi "tanya" yang muncul dalam diri manusia cukup mengindikasikan bahwa manusia memiliki naluri dan potensi yang luar biasa.

Dengan demikian, manusia dikatakan sebagai hewan yang berfikir (al-hayawanu-natiq), sebuah definisi Aritoteles yang dialamatkan pada manusia, dengan kata lain Aristoteles hendak mengatakan bahwa identitas manusia adalah potensi akal yang ada pada dirinya dan secara jelas akallah yang membedakan manusia dengan mahluk lain.

Potensi yang sedemikian besar tersebut haruslah diletakkan sebagai instrument untuk menelaah fenomena yang dihadapi manusia sehari-hari. Manusia sebagaimana kita tahu menghadapi persoalan kehidupan yang dan kompleks, kita juga menyadari bahwa problem yang dihadapi manusia maderen saat ini telah menghempaskan manusia pada sebuah ruang sempit kesadaran yang meletakkan manusia sebagai agen tidak berbeda dengan objek material yang seenaknya di eksploitasi.

Fonomena-fenomena diatas menurut hemat penulis karena cara pandang kita saat ini telah keluar dari batas-batas eksistensial, dimana potensi kritis manusia dikebiri dengan hukum-hukum positif-material sehingga manusia selalu berada pada situasi menerima dan pasif tanpa membuka ruang kritis terhadap fenomena sekitar.
Kesadaran "diri" Modus Utama Pengenalan "Tuhan".
Berbeda dengan model pengetahuan yang meletakkan kesadaran pada objek yang berada diluar dirinya, kesadaran diri adalah kesadaran sederhana yang langsung menghadir pada diri subjek tanpa membuhtuhkan konsep mental yang kompleks. Yakni model pengetahuan yang menegaskan bahwa antara subjek dan objek adalah piranti yang tidak bisa dipisahkan secara independent.
Kesadaran "diri" yang dimaksud adalah "ego" yang terlibat secara langsung dalam prosesi mengetahui secara bersama-sama tanpa ada jeda waktu sedikitpun. Hal ini bisa kita rasakan secara langsung misalnya, kesadaran kita tentang aktivitas persepsi yang berlangsung pada diri kita saat mempersepsi sesuatu. Misalnya "saya merasa bahagia", pada proposisi diatas "saya" sebagai subjek dan "bahagia" sebagai objek pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, pengetahuan yang sifatnya menghadir (huduri) tersebut tidak ada dikotomi antara pelaku persepsi dan objek yang dipersepsi.

Pembahasan mengenai pengetahuan berimplikasi pada diskursus epistemology pengetahuan diri dalam perdebatan epistemologi telah melahirkan banyak model pengetahuan. Munculnya kaum peragu (sofisme) adalah satu dari sekian problem filosofis yang telah gagal membentuk dasar-dasar pengetahuan. Para sofis mengklaim bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia yang berrtumpu pada idera dan akal adalah pengetahuan yang tidak memiliki nilai kebenaran. Salah satu tokoh yang masyhur kita kenal adalah Gorgias. Beliau mengatakan " tidak ada yang mewujud, kalaupun ada yang mewujud maka tidak bisa dibuktikan, kalaupun bisa dibuktikan pengetahuan tidak bisa dikomunikasikan". Pernyataan ditas secara epistemologi memiliki banyak kerancuan. Namun bukan tempatnya disini menakar landasar epistem para sofis.

Kembali pada pengetahuan diri, Mahatma Gandhi menulis;

Ada realitas tunggal diseluruh dunia ini, yaitu pengetahuan tentang diri. "siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Siapa yang tidak punya pengetahuan semacam itu, ia tidak mempunyai pengetahuan apa pun. Di dunia ini hanya ada satu kekuatan, suatu jenis kemerdekaan, suatu bentuk keadilan, yaitu kuasa untuk mengendalikan diri. Siapa yang mampu mengusai dirinya akan mampu mengusai dunia. Hanya ada satu bentuk kebaikan didunia, yaitu mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri; dengan kata lain, menghargai orang lain sebagaimana menghargai diri kita sendiri. Diluar itu yang ada hanyalah ilusi dan kehampaan semata".
Walhasil, pengetahuan diri sangat dekat dengan pengenalan keberadaan Tuhan. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Mengenal Epistemologi mengutip sebuah ayat terkait dengan bersatunya pengetahuan diri dengan pengetahuan Tuhan. Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebutan "dzar" (alam Zdar atau alam mitsal; semacam alam ide-nya Plato). Terdapat suatu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri sendiri.
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (QS: al-A?raf:172). Dalam ayat ini Allah menunjukan manusia kepada dirinya sendiri, mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Dalam artian bahwa Al-Qur'an mengatakan bahwa lihatlah diri kalian, Allah mengambil kesaksian pada diri mereka. Tatkalah manusia telah melihat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman; bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab ?Ya!? Disini Al-Qur?an tidak mengatakan bahwa Allah menunjukan Zat Nya kepada manusia, tetapi Al-Qur?an mengatakan bahwa manusia yang telah di berikan potensi kecerdasan itu diperlihatkan kepada diri mereka sendiri.

Alhasil Tuhan begitu dekat dengan manusia mengenal diri dengan mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu, sehingga Dia memerintahkan "Wahai manusia lihatlah dirimu sendiri dan ketika mereka melihat diri mereka sendiri lalu Allah berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu" Ketika engkau melihat dirimu sendiri engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan "barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhanya" adalah ungkapan yang tidak asing lagi di telinga kita.

Secara filosofis, pengetahuan diri bersifat immaterial, pengetahuan postur tubuh, warna kulit, dimana kita lahir, siapa bapak dan ibu kita, berasal dari kelurga mana, dan semacamnya bukanlah pengetahuan tentang diri sejati. Di akhir tulisan ini penulis sengaja meminjam ungkapan imam Ali, beliau mengatakan;

Saya heran mengapa orang yang kehilangan sesuatu akan berusaha mencarinya, sementara yang kehialangan dirinya tidak?.

Pada ahirnya kita semua bermohon pada Allah agar memberikan kita cahaya dalam menjalani kehidupan ini dan mampu mengaktualkan cinta pada-Nya, dan menjauhkan kita dari cinta dunia.

Penulis M. Said Marsaoly (Wasekum Pengembangan Kajian, HMI Badko Jateng-DIY)

Minggu, 15 November 2009

Dimanakah kebersamaan itu kini

Kompleknya permasalahan membuat manusia untuk memperhitungkan segala sepak terjangnya, termasuk petimbangan itu adalah tergabung dengan beberapa komunitas yang memungkinkan untuk terpenuhinya kebutuhannya. Didalamnya orang akan menuntut terpenuhinya kebutuhan itu. Menuntut terkadang tak diiringi kewajibannnya untuk memberi yang terbaik untuk komunitasnya.
Kecenderungan manusia memang selalu menghindari segala sesuatu yang menyulitkan dirinya. Itulah sebannya mengapa orang enggan untuk memberi karena dirasanya mamberi akan menyulitkan dirinya di kemudian hari. Tapi benarkan itu? Benarkah bila kita member lantas kebahagiaan kita berkurang? Benarkah kita harus menghitung pemberian kita untuk menerima jumlah yang sama dengan apa yang kita beri?
Ternyata kita hanya wajib memberi dan tak ada kewajiban untuk menerima. Barangkali itulah konsep keikhlasan sebenarnya. Memberi tanpa ada keinginan untuk menerima balasan. Jika ada balasan pemberian itu hanya efek dari keihlasan kita dan itu akan lebih baik dari apa yang telah kita berikan.
Kebersamaan akan terbangun jika kita punya pemikiran yang sama bahwa kita hanya punya kewajiban memberi dan tak wajib untuk menerima. Namun akan kokoh bila kebersamaan itu diiringi pula dengan rasa percaya, empati dan simpati kepada orang orang sekelilling kita, orang yang menemani kita.
Masih ada kah orang orang seperti itu????

Senin, 09 November 2009

Diakah yang ku cari.....?!

Layaknya para pencari yang berada di antara kaktus berduri
Aku pun berhambur ke sana kemari demi menemukan yang kucari
Ribuan tanya memenuhi ruang yang ada di otakku
Hingga tiada lagi kutemukan kekosongan
Walau tuk sekedar menenangkan diri

Dan aku pun menemukan dirimu
Kala kuterhanyut dalam duniaku
Kutemukan sosok itu di tengah keramaian
Yang melihatku dan menyapaku dengan senyuman
Sempat kubertanya siapakah itu
Di mana hanya dengan senyumannya mampu luluhkan aku
Dengan kerlipan matanya mampu runtuhkan kokohnya dinding hatiku
Siapakah dia?





Seorang wanita yang begitu lembut sapanya
Seorang Hawa yang tercipta tuk temani Adamnya
Seorang Bidadari yang kutemui di dunia
Tapi, benarkah itu dia?
Sosok yang kucari sampai aku terlihat layaknya majnun mencari layla

Aku pun mencoba tuk meraih tangannya
Kudekati ia dengan sebuah rasa yang kubangun tanpa suara
Kurasa hanya dengan meraba
Sempat kulihat dia dengan mata
Namun, yang ada hanyalah samar belaka
Dan kulihat lagi ia dengan seberkas hati yang telah kusimpan rapi
Sebentuk hati yang kupersiapkan jika aku bertemu bidadari nanti

Kusentuh dia tapi tak tersentuh
Kudekati dia tapi tak terdekati

Hingga akhirnya sosok itu pun harus terbang melayang hanya melaluiku
Walaupun aku sangat ingin mempertanyakan arti kehadirannya itu
Mengapa ia datang jika ia harus pergi
Sebuah ketidakadilan jika begitu

Namun, tangan Tuhan menyambutku
Memperlihatkan dan mengingatkan aku akan keperkasaanNya
Semua adalah milikNya
Lalu, seberapa kuatnya aku hingga marah saat ia tak jadi milikku
Yang jelas-jelas bukanlah aku yang menciptakannya

Aku adalah hamba
Hamba yang diberi sebuah anugrah tuk merasa
Seorang manusia yang mencoba menemukan arti sebuah fenomena
Seorang hamba yang harusnya mensyukuri masih diberi cinta
Masih diberi nikmat yang tak percuma

Mungkin kata Tuhan ”Belum waktunya”
Dan aku pun menunggu jika waktu itu telah tiba
Karena telah kupersiapkan segala
Agar kubisa benar-benar menjaganya
Dengan sepenuh hatiku
Dengan sepenuh jiwaku

Minggu, 06 September 2009

SEBUAH ASA PERJUANGAN PEMUDA

”Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang dijalannya, semangat dalam mereali-sasikannya, dan kesiapan untuk beramal serta berkorban dalam mewujudkannya. Keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat dan amal merupakan karakter yang melekat pada PEMUDA. Karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertakwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Hal itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda.”

(Hasan Al-Banna)

Kutipan diatas merupakan gambaran bagi kita yang mengaku dirinya pemuda, apalagi kita yang tercatat sebagai insane akademis. Sesosok remaja yang masuk dalam dunia kampus dan menjejali diri dengan ilmu pengetahuan. Ciri ciri insane akademis melekat padanya seperti rasioanal, obyektif, sistematis, dan universal.

Mengarahkan tindakanya pada sesuatu yang bisa di terima akalnya dengan mengesampingkan sisi emosional. Menjalani kehidupannya dengan bebas yang bertanggung jawab. Akan terasa emosional ketika kita harus mempertahankan argument kita dengan nada yang tinggi di sertai dengan tindakan anarkis. Anarkisme itu bisa saja mengakibatkan reputsi kita yang buruk. Belum lagi bila kita harus meraju’ atau ngambek ketika pendapat kita tak bisa diterima, atau di tolak mentah mentah dan langsung saja walk out dari ruangan. Itukah mahasiswa?

Selalu memandang suatu permasalahan dengan sudut pandang yang beragam, sudut pandang orang lain yang bisa jadi lebih benar dari pada cara pandang kita. Dengan cara seperti itu bisa memerkaya khazanah pengetahuan kita karena kita harus mengakui bahwa kita dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda dan punya sejarah masing masing yang berbeda pula. Itu kita harus akui sehingga kita bisa lebih bijaksana ketika ada orang yang berbeda pendapat dengan kita.

Selanjutnya sejalan dan seiring kita belajar untuk mengurutkan alur logika dan tindakan kita. Mendasarkan pada pandangan terkecil sampai yang besar, memperbaiki yang kecil kecil sebelum kita harus menyelesaikan yang besar. Mempertajam manajerial kita dalam menapaki hidup dengan selalu menata aktifitas yang mengacu pada skala prioritas. Akhirnya apa yang kita lakukan dapat berjalan dengan damai tanpa terburu oleh tuntutan yang mengiringi dibelakangnya.

Mencari sesuatu yang berlaku pada semua manusia, yang sering disebut sebagai niali nilai universal. Ini sejalan dengan dengan konsep Rahmatan Lil’alamin Islam. Islam menjadi agama yang bisa diterima semua umat manusia dimanapun berada, tiada batas geogtafis, demografis dan sekat sekat yang lain. Semangat itulah yang menjadi ikatan persaudaraan umat ini, oersaudaraan yang diikat oleh nilai Tauhid.

Selanjutnya seperti digambarkan pada penggalan di atas bahwa pada seorang pemuda ada semangat dan kekuatan yang menjadi karakteristiknya. Kekuatan itu terletak pada keyakinannya (iman) untuk merealisasikan suatu nilai dalam agamanya. Begitu kuatnya keyakinan itu terakumulasi dari keimannnya kepada Allah. Kekuatan yang terdapat pada seorang pemuda juga terlihat dari keikhlasan dijalan-Nya, itulah sebuah refleksi atas nilai taukhid yang dipegangnya. Keiklasannya itu menghasilkan semangat (ikhlas) yang luar biasa sebagai karakteristik pemuda selanjutnya. Keikhlasan dalam memperjuangkan agama Allah dan hanya mengharap ridho-Nya. Kemudahan dan kesulitan yang menghadang perjuangannya tak bisa menyurutkan semangatnya.

Sebagai karakteristik yang terakhir pada pemuda adalah kesediaanya untuk merealisasikan apa yang dipirkannya dalam bentuk nyata yaitu amal sholeh. Amal sholeh ini adalah yang menjadi penolongnya di kehidupan akhir nanti. Tiada apaun yang akan menolong kita kecuali amal kita sendiri.

Ungkapan yang hampir serupa juga keluar dari lisan seorang proklamator kita. Sukarno pernah menyatakan seperti ini: “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan ku goncangkan dunia”. Ungkapan itu adalah sebuah ungkapan yang mendalam karena begitu besarnya harapan semua orang kepada seorang pemuda sebagai sosok yang punya iman yang mantap, keikhlasan pengabdian, semangat yang membara dan amalan yang istiqomah.

Dengan karakteristik seperti diatas kita dapat mengatakan bahwa harapan itu masih ada untuk memperbaiki umat dan bangsa ini. Bukankah Allah sendiri yang mengingatkan kita untuk tidak berputus asa daari rahamat-Nya. “ ………….dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah…………...” (QS.Yusuf)

Selama harapan itu masih masih ada dan jalan terbuka lebar untuk perbaikan maka kewajiban kita pemuda ( mahasiswa ) untuk menolong Agama Allah ini. Semangat jihad tak boleh kendur dari jiwa pemuda apalagi harus tergadaikan oleh kepentingan dan kebutuhan duniawi. Allah sendiri yang akan menolong hamba-Nya ketika orang itu mau memperjuangkan agama-Nya. “Hai orang orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu ” (QS. Muhammad : 7) itulah janji Allah kepada orang orang yang mengaku dirinya beriman.

Akhirnya sebagai kesimpulan semua pemuda wajib untuk memperkuat keimanannya, memperluas pengetahuannya dan memperbanyak amalannya. (Iman, Ilmu & Amal) {oz}

Wassalam.

Jumat, 04 September 2009

PENCARIAN MAKNA CINTA


Ku tak tahu apa itu arti cinta yang sering di bicarakn anaak anak muda mudi ABG, yang sering di dendangkan dalam lagu lagi dramatis, yang katanya bisa membuat orang dibuatnya prustasi dan langsung bunuh diri. Katanya itu akibat dari putus cinta, patah hati, broken heart dan lain sebagainya dalam istilah lain.

Berlalunya waktu ku sedikit menerka dan meraba hingga kutemukan beberapa tema cinta yang disandarkan pada sesuatu dan menjadi cinta harta, cinta wanita, cinta monyet cinta kebenaran dan cinta cinta yang lain termasuk cinta kepada Tuhan. Dari situ ku semakin bingung makna cinta sebenarnya, mana yang merupakan cinta sebenarnya dan kepada apa / siapa kita harus menyandarkan cinta kita.

Untuk memakanai kata itu pun ku semakin tak karuan, memakai hati atau akal…?. Jika dengan hati barangkali ku cukup diam dan merasakan sebuah getaran / sinyal yang datang atau aku harus memancing getaran dan sinyal itu untuk datang. Apakah ku harus diam saja dan cukup merasakannya??? Jika dengan akal berarti harus saya logiskan dan barangkali kuharus bertanya arti itu pada sarjana2 bahasa atau bahkan ahli filsafat atau juga kepada ahli mantik untuk menanyakan apa itu arti cinta yang tiada lagi ada bantahan dari siapapun. Walaupun logika berlaku universal, tapi saya masih menyangsikan keabsahannya karena bisa jadi karena alur doktriner semua bisa masuk dalam logika kita masing masing. Jadi bisa saja kita dipaksa untuk menerimanya dengan lapang dada tanpa kesadaran intelektual karena kita memang dilahirkan dalam kadar intelektual yang berbeda.

Sementara ku mencari jawab akan makna cinta itu, timbul satu lagi pertanyaan lanjutan yaitu jika benar cinta itu bermakna berarti akan dilaksanakan dan jika dilaksanakan, apakah ada konsekuensi konsekuensi terhadapnya?? Haruskah kita memberi sesuatu ketika kita ingin memaknai arti bercinta atau hanya menerima saja pemberian cinta orang lain???

Sebagai hasil dari terkaan dan rabaan yang barangkali berasal dari keegoan dan pembacaan sepihak, ku mulai menyimpulkan satu satu dan menjawab semua pertanyaan yang muncul. Yaitu bahwa cinta itu dipunyai oleh semua makhluk hidup di dunia ini terlebih pada manusia. Itu merupakan anugrah teragung yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bahkan cinta harus di persembahkan kepada yang riel dan kekal. Cinta harus juga bisa dirasakan dan dilogikakan, cinta bukan hanya memberi tapi menerima dengan kewajiban memberi dan sunah untuk menerima. Cinta harus dimaknai dengan amalan nyata, bercinta. Bercinta dalam kerangka mengekspresikan cinta itu dalam makna sebenarnya. Dan sebagai kesimpulannya ku harus menyandarkan cintaku pada yang kekal dan abadi yaitu Tuhan dengan perantaraan cintaku kepada insane ciptaan-Nya. Dan mengekspresikan cinta itu dalam lingkaran pengabdian kepada-Nya.

Dalam benak saya terpatri bahwa Cinta pada Tuhan itu yang sebenarnya, yang sejati. Namun bukankah Tuhan itu maha tinggi yang tak mampu kita menyamainya? Bukankah hubungan kita dengan-Nya bersifat pribadi sekali.? Bukankah terlalu naïf bila kita harus langsung bertatap dan bercengkrama langsung dengan-Nya saat ini.? Tidakkah terlalu lancang bila kita harus memberi-Nya dan menalarkan keberadaan zat-Nya yang agung itu???

Lalu siapa yang patut kita cintai sekarang..? yang nyata, bisa dirasakan semua indra kita, yang bisa di tatap, diraba dirasakan dan diperlakukan. Semua pasti akan mengarah pada kekasih-Nya “Muhammad Rosulullah” namun lagi lagi semua belum bisa menjawabnya. Bukankah “Muhammad” hanya meninggalkan Catatan Tuhan dan mewariskan sunah sunahnya untuk kita teladani. Bukankah lebih pantas kita menyebutnya sebagai penerjemah arti cinta kepada makna cinta yang kekal (Muhibbullah) dengan sunahnya kita diantar untuk mencintai-Nya dan mendekat kepada-Nya.

Sebagai kesimpulan tulisan ini, bahwa cinta kita sebenarnya adalah kepada Allah. Cinta kita kepada kepada Rosullulah, cinta kita kepada orang tua dan cinta kita kepada WANITA hanyalah cinta cinta turunan dan konsekuensi akan cinta kita kepada Allah. Orang yang mengaku cinta kepada Allah akan selalu mencintai apa yang dicintai-Nya dan menjadi keberadaannya menjadi media untuk mendekatkan diri pada-Nya

Wassalam.

Kamis, 03 September 2009

PEJUANG ATAU PECUNDANG

Dalam suatu obrolan lepas bersama teman teman tercetus sebuah gurauan yang sangat menggelikan atau bahkan terlalu ektrim. Pernyataan dari obrolan itu berkisar pada statemen yang tertulis pada judul diatas. Ya….. pejuang atau pecundang.

Kata-kata itu muncul ketika melihat dan mengalami sendiri masing masing individu dalam proses berorganisasi dan berproses mencari sebuah kebenaran makna hidup dan makna bersosialisasi dengan sesamanya. Proses itu berlangsung lama selama penulis dan teman teman menyandang status mahasiswa dan mengaku sebagi aktivis organisasi. Suatu perjalanan yang menguras tenaga dan waktu bahkan fikiran yang sempat menguruskan badan dan membuat penat fikiran. Itu semua menjadi catatan sejarah sendiri dan menjadi cerita nostalgia dikala tua nanti.

Status mahasiswa yang disandang menjadi andalan yang ampuh ketika harus berbicara bebas dan lepas tanpa embel embel kepentingan, kepentingan diri apalagi kepentingan kekuasaan. Namun tetap pada jalur rasional dan sistematis cebagai ciri mahasiswa. Status itu membuat kami bangga karena kami bisa dengan bebas menyuarakan apa yang kami anggap kebenaran setelah menjalani kajian mendalam. Mahasiswa yang lebih mengedepankan keterbukaan terhadap segala perubahan dan segala kemungkinan yang buruk maupun positif. Segala gerak geriknya selalu berakar pada kajian mendalam dan berorientasikan pada perubahan yang lebih baik. Kalupun ada kesalahan kajian ataua lebih tepatnya belum sampai pada kebenaran kami hanya bisa berkata bahwa itu merupakan proses yang belum berakhir.

Kembali ke judul yang penulis angkat, kita harus menelusuri asbabun nuzulnya karena judul diatas bersal dari sebuah pembacaan atas realita dari penulis.

Kata kata pejuang memang sering di gembor gemborkan pada kalangan mahasiswa yang mengaku sebagai aktivis. Entah itu aktivis pergerakan atau aktivis intelektual. Kiri atau kanan yang menjadi sentral isunya. Kata itu telah melekat kepadanya. Bentuknya bisa bermacam macam, bisa berbentu demontrasi ataupu kegiatan kegitan intelektual semacam diskusi diskusi ataupun sekedar obrolan ringan.

Karena penulis adalah mahasiswa islam maka penulis membahasakannya dari sudut pandang keyakinan seorang mahasiswa islam. Dan dipersempit lagi dalam aktivitas berorganisasi, suatu usaha menempa diri atau membekali untuk menjadi seorang ulil albab. Seseorang yang menempati kelas menengah dalam sebayanya dan yang akan bertanggung jawab atas kelangsungn peradaban dunia. Seseorang yang selalu menggunakan akalnya untuk berfikir positif demi kemajuan umatnya.

Nah…. Bila itu yang kan menjadi tujuannya, bukankah kita harus berlahan menginstal sifat sifat panutan kita ‘Rosullulah SAW’ dan sedapat mungkin mengaplikasikan sifat sifat ketuhanan dalam keseharian kita. Bukannya lari atau orientasi pribadi atau juga ada, tapi semaunya sendiri dalam beraktualisasi, tidak memperhatikan mana kawan dan mana lawan. Jalan terus…. itu juga kurang bagus. Atau juga memanfaatkan organisasi untuk tujuan yang dangkal dan perebutan posisi bukan dengan cara yang elegan tapi dengan propaganda dan bentuk bentuk yang tidak demokratis lainnya. Belum lagi bila hanya menggembor gemborkan perubahan tetapi dirinya sendiri susah untuk berubah. Susah untuk konsisten dengan kata kata yang telah diucapkannya dan selalu hadir ketika semuanya sudah selesai. Hanya mau menikmati proses yang mengenakan dan membiarkan kawannya dalam kesusahan. itulah yang disebut sebagai pecundang.

Seorang pejuang akan selalu meluruskan niatnya dan selalu menyempurnkan ikhtiarnya. Meluruskan niat hanya karena Allah bukan yang lain. Karena niat itulah dia tak terpengaruh akan hasil yang didapat ataupun cacian yang sempat hinggap, baginya proses adalah perjuanngan dan hasilnya kita hanya bisa bertawakal kepada-Nya. Dari niat yang tulus itu, dalam penyempurnaan ikhtiarpun tak lari dari seperangkat ketentuan2 yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip prinsip ideal. Baginya kesulitan adalah sunatullah dalam perjuangan dan kemudahan adalah suatu ujian akan keimanan dan kesabaran kita, bukan kepentingan pribadi yang dia utamakan dan prioritaskan, bukan juga kepentingan golongan tertentu atau kroninya tetapi kepentingan umat, kepentingan semua manusia. Semua bermuara pada terciptanya keadilan dan kesejahteraan umat menuju peradaban yang tercerahkan dan di ridhoi Allah swt. ( OZ )

Wasalam.

Rabu, 29 Juli 2009

Aku Bertanya Kepada Allah

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa aku tidak menjadi lebih kaya???

Dia menunjukkan kepadaku orang yang sangat kaya hingga

seakan hartanya tidak habis untuk tujuh turunan

yang sangat kesepian, tidak punya teman atau keluarga untuk berbagi

karena kekayaan membuatnya jadi sangat curiga pada orang lain

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa aku tidak lebih pintar?????

Dia menunjukkan padaku orang yang jenius

yang menyebabkan ratusan orang mati

akibat kejeniusannya

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa aku tidak diciptakannya lebih cantik????

Dia menunjukkan padaku orang yang sangat cantik

bagaikan bidadari

akan tetapi kelihatan jelek di mata semua orang

melebihi hantu sekalipun

karena keburukan hatinya

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa aku tidak diciptakan untuk selalu awet muda dan tak pernah mati?????

Dia menunjukkan padaku remaja yang mati di pinggiran jalan

menyia - nyiakan hidupnya

untuk mabuk dan narkoba

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa aku harus bekerja dan bukannya hanya bersantai????

Dia menunjukkan padaku laki - laki yang mempunyai 12 anak

yang harus menghidupi mereka

Tapi tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak

hanya karena dia buta huruf

Aku bertanya kepada Allah

Kenapa Dia tetap menciptakan makhluk tak berterima kasih macam aku??????

yang selalu menuntut

juga pendosa

Dia menunjukkan padaku Al Qur'an

dan pengorbanan dari nabi – nabiNya

karena itulah aku tahu Dia sangat menyayangiku